Selasa, 19 Mei 2009

STOP PRESS !!!!!!


Merak hijau (Pavo muticus) saat ini ditetapkan statusnya menjadi Endangered (genting), atau secara deskripsinya menghadapi resiko kepunahan tinggi di alam liar. Fakta dilapangan saat ini keberadaan merak hijau terganggu dengan fragmentasi lahan, banyak kawasan konservasi yang terganggu dengan desakan masyarakat untuk merambah kawasan ataupun banyak penyimpangan – penyimpangan tata guna lahan yang tentunya tidak hanya melibatkan masyarakat awam.

Berita mengenai status dari IUCN (lihat di birdlife.org) ini harus menjadi perhatian khusus bagi pengelola kawasan konservasi. Menjadi koreksi bersama dan tindakan berbagai pihak bukan hanya kalangan Departemen Kehutanan.

Seandainya tidak segera disikapi maka tahun – tahun mendatang akan terus meningkat statusnya menjadi punah dan mungkin anak cucu kita hanya bisa melihat fotonya kelak atau sisa – sisa bulunya yang dipasang di reog.

untuk merak si sombong yang terancam

turut belasungkawa

Turut berbelasungkawa atas meninggalnya ayahanda dari saudara arif nurkanto, anggota tim training environment conservation obihiro 2008. Tuhan Yang Maha Esa memberikan pengihiburan untuk semua keluarga.

Ferdi.
atas nama semua anggota Tim Trainer.

Selasa, 05 Mei 2009

KETIKA KITA HANYA BISA DIAM


Sabtu kemarin dapat berkat bisa nonton film, kali ini giliran film “KNOWING” nya Nicolas Cage yang ditongkrongin. Film yang menegangkan mulai dari awal sampai selesai, Cuma buat saya agak disayangkan bila ending – endingnya muncul semacam alien lagi..padahal dari awal saya dan istri sudah merasakan alur cerita yang logis dan nyata yang tidak melibatkan alien. Namaun bagi pecinta sosok alien memang tetap saja cerita film ini sangat bagus. Bagaimanapun beberapa hal dapat kita ambil pesan dari cerita film ini.

Saya berpikir bila seseorang memiliki karunia untuk melihat bencana tetapi tidak mampu menghentikan alur, sungguh alangkah sangat menyiksa, apalagi yang terlibat dalam bencana tersebut adalah keluarga kita.

Dan mungkin ini juga terjadi saat – saat ini, ketika kita sebenarnya tahu kalau banyak tindakan – tindakan kita yang baik sengaja ataupun tidak dapat menimbulkan bencana…semisal pembalakan hutan secara illegal yang masih saja tejadi, illegal hunting yang akan merusak rantai makanan dan keseimbangan alam, sampai pada kebijakan – kebijakan yang tidak memihak lingkungan. Sepertinya secara sadar maupun tidak kita menyongsong bencana….

Saya berharap banyak, ketika sebenarnya kita tahu apa yang kita lakukan akan banyak berdampak sebaiknya kita bersikap lebih bijak, merawat lingkungan titipan Tuhan untuk dapat kita wariskan kepada anak cucu kita, bukan bencana yang akan kita tuai di masa depan.

JANGAN HANYA DIAM…
Label foto : dari knowing-trailer.blogspot.com

Jumat, 01 Mei 2009

" memoar buat si bronson "


Teringat pengalaman beberapa tahun yang lalu saat menjadi voulenter di Pusat Penyelamatan Satwa Jogja (PPSJ), tugas kami sederhana, mengambil data – data tentang perilaku Elang Laut perut putih (Haliaetus leucogaster). Ya.. sebagaian dari elang ini adalah hasil sitaan, sebagaian yang lain adalah memang sengaja diserahkan oleh pemiliknya untuk dilepasliarkan.

Proses pelepasliaran ini bukan perkara mudah dan cepat, proses yang lama dan membutuhkan ekstra perhatian dan ekstra biaya tentunya, belum lagi tingkat keberhasilannya bisa jadi tidak memenuhi target. Elang – elang malang ini sudah terlalu lama dipelihara manusia, dengan berbagai luka fisik dan mental. Ada beberapa elang yang kuku cakarnya “ dimanicure” dipotong habis, ada pula yang paruhnya dikikir oleh pemiliknya. Beberapa elang sudah lupa bagaimana cara untuk terbang, adapula yang sudah lupa kalau makanan aslinya itu jenis – jenis ikan (terlanjur lama dicekokin pisang, papaya, dan nasi kucing).

Mohon ijin sebelumnya untuk menceritakan sedikit yang saya ingat ( maaf apabila terkesan meraba – raba…agak – agak lupa..)

Akhirnya “ terdamparlah” mereka di PPSJ ini untuk diliarkan kembali sebelum mereka dilepas kea lam bebas. Adalah Charles dan Bronson, 2 (dua) ekor elang dari beberapa elang laut yang senagaja diberi nama untuk memudahkan pengamatan. Dimulai dengan beberapa tahapan yang memakan waktu yang cukup panjang, mulai dari tahapan karantina untuk pemulihan kesehatan dan kondisi setelah perjalanan dari lokasi penyitaan atau kandang sebelumnya, tahap observasi kesehatan untuk melihat sejauh mana tingkat kesehatan mereka, dari tahapan ini diharapkan beberapa luka dan cacat dapat direhabilitasi atau setidaknya dapat dideteksi.

Dari tahap awal dapat dilihat kira – kira mereka dapat dimasuknya pada grade apa (kaya mencarikan kelas yang tepat buat tingkat mereka saat ini). Yang paling parah adalah saat didapati elang tersebut sudah terlalu banyak “lupa” kalau dia adalah elang..jadi harus dididik dari awal, mulai cara terbang, jenis makanan dan nantinya cara mencari makan.

Beberapa hari kemarin ketika berkesempatan melihat ( di NGC) proses peliaran yang dilakukan di salah sanctuary di Amerika.Proses keterlibatan manusia benar – benar di minimalisir, sampai – sampai petugas – petugasnya harus memakai topeng burung (yang sangat mirip asli) dan sedapat mungkin tidak terlihat oleh si burung kalau yang mendekati adalah manusia. Hal ini berkaitan dengan tingkat bahaya apabila terlalu sering berinteraksi dengan manusia. Logikanya begini, di alam liar saat manusia terlihat keberadaannya, burung – burung akan terbang menjauh, beda dengan burung – burung yang terlalu lama dipelihara, mereka justru mendekat pada manusia (perkiraan mereka, manusia pasti membawakan makanan). Padahal kontak dengan manusia adalah bencana, kebanyakan burung – burung mati kena jerat atau ditembakoleh manusia.
Berlanjut di PPSJ, ..sekalipun sederhana, proses yang dilakukan di PPSJ juga “mengadopsi” cara di beberapa Negara lainnya. Terlihat dari kandang – kandang observasi dengan beberapa tingkatan dengan display kandang yang berbeda mulai dari ukuran dan ornament, serta kolam ikannya. Untuk elang – elang yang “lupa cara mencari makan” disediakan ikan yang sudah mati di lantai kandang, apabila sudah “lulus” tingkatan ini, elang akan dipindahkan ke kandang lainnya dengan tingkat kesulitan lebih tinggi (dengan sumber makanan yang hidup dimasukkan ke kolam dengan kedalaman tertentu yang masih dapat terlihat). Demikian selanjutnya dengan ukuran kedalaman kolam yang memaksa elang beradaptasi untuk mencari makan, begitu juga dengan ukuran kandang yang terus bertambah luas dan ketinggiannya, yang memaksa elang belajar untuk terbang lebih kuat..

Akhirnya, apabila dinilai cukup dengan berbagai pertimbangan tingkat survival yang telah ditetapkan, elang – elang yang telah siap akan dilepas liarkan. Proses pemilihan lokasi juga menjadi kendala tersendiri, lokasi yang dipilih harus mempertimbangkan sumber makanan, ancaman dari manusia dan tentunya ada atau tidaknya elang lainnya yang sebelumnya telah memiliki teritori di sana.

Ternyata, proses yang lama inipun terkadangtidak menunjukkan tingkat keberhasilan, belum tentu elang yang dinilai dapat survive ternyata hanya menjadi elang “jago kandang” yang ketika dilepasliarkan tidak mampu bertahan mencari makan sendiri ataupun kalah dalam pertarungan memperebutkan teritori..tapi bagaimanapun juga upaya ini harus diacungi jempol..upaya mulia untuk mempertahankan kelestarian alam. Sayang sekali saat ini PPSJ dalam terkendala dengan pendanaan..saya sudah lama tidak mendengar kabarnya lagi…(saya yang lepas kontak dengan kawan – kawan).
Manusia dengan segala tingkah lakunya…sayang sekali apabila mengorbankan kebebasan hidup dan kelangsungan hidup elang laut ini hanya untuk gagah – gagahan (dengan memelihara elang kadang dinilai lebih hebat dan kaya).. padahal untuk proses pelepasliaran ini memakan waktu lama dan biaya yang besar.

Salam untuk elang – elang laut di Karimun Jawa yang telah berjasa membuatku menjadi sarjana..

Rabu, 29 April 2009

Dan ketika kami merasakan sakit hati…



Ketika di beri kesempatan untuk berkunjung ke satu perusahaan perkayuan besar di Indonesia, saya diperlihatkan satu peristiwa gangguan dari satwa liar yang belum pernah saya jumpai sebelumnya dengan mata kepala sendiri. Saya melihat kerusakan besar yang belum pernah saya lihat, menurut beberapa pekerja, ratusan kera ekor panjang bergerak merusak beberapa blok tanaman yang sudah berumur satu tahun. Anehnya pada saat saya melihat lokasi tersebut, terlihat hanya tanaman yang ada di sekitar jalan akses saja yang rusak. Tegakan – tegakan yang berada di dalam (baca: tidak disekitar jalan akses) tidak mereka rusak. Kerusakan yang timbul sangat besar, tegakan tersebut terkelupas kulitnya sehingga pada beberapa hari berikutnya tegakan tersebut akhirnya kering dan mati.

Pada saat yang sama, saya mendapatkan satu cerita seru, terkait dengan peristiwa mengamuknya Harimau Sumatera dan memakan beberapa orang korban. Di beberapa artikel Koran memebrikan pernyataan tentang semakin menyempitnya daerah jajahan sang harimau, wilayah yang biasanya dijadikan wilayah perburuan, sekarang ditumbuhi berbagai tanaman perkebunan, dan hilanglah rusa dan babi hutan. Keadaan ini memaksa sang harimau melampiaskan amarahnya pada manusia yang dia jumpai di sekitar bekas wilayah jajahannya. Ketika saya mendengarkan penjelasan dari staf perusahaan tersebut, saya mendengar juga satu versi lain yang diceritakan beliau sesuai yang dia dengar dari beberapa kawannya, entah yang mana yang benar tapi menurut pemikiran saya cerita ini sangat bisa adalah kenyataan.

Cerita yang diceritakan adalah sebagai berikut :

Pada suatu hari beberapa orang perambah berhasil menangkap anakan harimau, anakan yang malang ini terpisah dari induknya dan digelandang ke gubug si penjarah. Tentunya sang induk akhirnya kebingungan mencari anaknya yang hilang ini, dengan indera penciuman dan insting pemburunya, induk harimau berhasil mendapatkan jejak anaknya, tetapi sedikit terlambat, karena si anak telah berpindah tangan dan konon saat ini sudah ada di tangan cukong di Jakarta. Di pondok para penjarah inilah sang induk melampiaskan kemarahannya pada para penculik anaknya.

Dari kedua peristiwa ini, kita hanya bisa menganalisis, bahwa bagaimanapun juga setiap makhluk hidup mempunyai insting untuk bertahan hidup. Insting inilah yang membimbingnya melakukan pilihan hidup. Mungkin tidak sama dengan manusia yang sebelum melakukan sesuatu dia akan berpikir beberapa kali untung dan rugi, serta resiko – resiko yang akan dipilihnya pada satu tindakan. Mungkin hewan lebih spontan dalam pilihan tindakannya, ketika dia merasa marah karena kehilangan akan, dia tidak akan berpikir terlalu lama untuk cepat bertindak, atau ketika mereka terusik karena habitat aslinya terusik oleh keserakahan manusia , maka mereka pun “protes” dengan merusak tegakan di sekitar jalan mungkin untuk menunjukkan wilayah kekuasaannya.

Dan saya tetap berharap peristiwa tragis dengan jatuhnya korban nyawa akan terulang lagi hanya karena kita mengusik dan merusak proses alam, menyebabkan ketidak seimbangan ekosistem. Bumi semakin tua , dan manusiapun semakin kuat mempertahankan diri untuk kelangsungan hidup kaumnya (dan kebanyakan tidak peduli lagi kana lam sekitarnya). Pilihan yang sulit ketika diperhadapkan pada pilihan ini….dan kita harus memilih akan menjadi seperti apa kita, manusia yang berakal budi atau hewan…..

Sedikit oleh – oleh dari kerajaan lama.

Senin, 20 April 2009

PEMILU Vs Tidur siang


Sebenarnya kami berharap banyak..

Saya tidak pernah menutup mata dengan urusan yang namanya politik, secuek – cueknya masyarakat Indonesia dan seawam – awamnya akan dunia ini , tetap saja manusia Indonesia harus berhadapan dengan yang namanya dunia politik. Walaupun tidak suka dan tidak mau terlalu ambil pusing dengan urusan ini, tetap saja banyak aspek kehidupan kita yang berhubungan erat dengan dunia ini. Banyak hal, mulai dari munculnya kebijakan – kebijakan yang krusial menyangkut hajat hidup orang banyak sampai tebal tipisnya dompet kita menyikapi kehidupan ekonomi Indonesia.
Tidak juga dengan urusan lingkungan, banyak juga yang tergantung dengan hasil pemilu kemarin, ya..walau saya tidak berkontribusi dalam pemilu kemarin (karena tidak tercantum dalam DPT..karena saya pendatang, yang di tempat asal juga tidak tercantum dalam DPT juga), saya masih punya yang namanya pengahrapan untuk terciptanya alam perpolitikan yang memuhak pada lingkungan. Sayang sekali apabila hasil pemilu hanya akan menelurkan politisi – politisi karbitan yang menjadikan ranah politik sebagai “mata pencaharian” bukan untuk meyalurkan aspirasi kepentingan rakyat dan kelestarian lingkungan Indonesia.

Politisi karbitan ini hanya akan berpihak pada kantongnya dan kantong partai, arogansi dan egoism semata yang ditonjol – tonjolkan biar kelihatan sebagai wakil rakyat yang “pinter, bermutu dan berpihak atas nama rakyat”. Akhirnya politisi – politisi menerapkan politik dagang sapinya tanpa berpikir amanah, menciptakan bermacam aturan yang ngawur yang jelas – jelas mempertebal kantongnya belaka.
Bukan berarti saya apatis (atau memang sedikit pesimis..) tapi kadang saya tidak habis piker dengan apa yang dilakukan para caleg kita, menghamburkan uang seperti sales obat yang berkoar – koar dengan janji – janji, menyebarkan sembako dan pengobatan gratis (kayak gratis). Kemudian setelah kalah, stress dan bunuh diri. Kenapa maju berperang tetapi takut kalah?? Sebagai manusia Indonesia ada baiknya kita belajar untuk dewasa dalam sikap politik. Memurnikan politik sebagai usaha untuk mengatur Negara sebaik mungkin untuk kepentingan bersama. Memang tidak mudah mengingat berbagai kepentingan yang ada, tapi seandainya kita mampu berbicara lagi pada hati nurani, dan mengingat kembali bahwa semua ini hanya anugerah Tuhan, mungkin kita bisa memperbaiki sikap dan bersikap dengan lebih bijak.
Menjadi wakil yang benar – benar mewakili rakyat, rakyat yang benar – benar menjadi rakyat yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban, serta kedewasaan dalam berpikir dan bertindak dengan mendahulukan kepentingan bersama. Saya berharap Indonesia menjadi tempat tinggal yang lebih baik yang lestari dan hijau, sehingga kedamaian dan kehidupan yang lebih baik dapat tercipta di bumi Indonesia.

Demi anak cucu kita……………….

Senin, 30 Maret 2009

antara situ gintung dan earth hour



Bencana kembali terjadi di negeri ini, lebih dari 65 orang meninggal dan sekitar 98 orang masih dalam pencarian (Kompas, 28 Maret 2009). Curah hujan yang tinggi tidak mampu ditampung tanggul Situ Gintung Tangerang selatan, seperti tsunami dalam skala yang lebih kecil air bah itu menenggelamkan ribuan rumah dan menghancurkan segala harta benda.

Pada sisi lain,

Tanggal 28 Maret 2009 ini masyarakat dunia melakukan satu gerakan yang dinamai “earth hour”, satu gerakan yang dimulai pada tahun 2007 di kota Sydney ketika pada saat itu 2,2 juta rumah mematikan lampu selama satu jam. Pada tahun berikutnya, ternyata bukan hanya di satu kota itu, gerakan ini mulai mewabah di seluruh dunia. Satu gerakan sederhana, hanya dengan memtikan lampu selam satu jam, diyakini mampu membuat bumi ini sedikit “istirahat” dari pemborosan energy.

Ada apa dengan keduanya,

Mungkin saya terlalu memaksakan untuk mengkaitkan kedua peristiwa ini menjadi suatu perenungan yang mungkin berguna. Curah hujan yang tinggi pada tahun – tahun belakangan ini bisa jadi terkait dengan pemanasan global yang terjadi di bumi kita. Musim menjadi tidak menentu, dan akhirnya merubah banyak hal. Waktu zaman saya duduk di bangku SD, dengan lantang kita akan menjawab bahwa musim di Indonesia ada 2 yaitu musim kemarau dan musim penghujan, dan keduanya akan berbagi sama rata dalam setahun. Tapi semua ini semakin hari semakin gamang untuk diucapkan, sangat susah saat ini untuk menandai musim, apalagi besarnya curah hujan.
Saya yang bukan ilmuwan hanya berusaha memahami dengan simpul sederhana, dengan bertambahnya suhu bumi, kutub es akan mencair, bila terjadi demikian maka akan bertambah juga tinggi permukaan air laut. Dengan demikian bisa jadi semakin banyak juga penguapan yang akan terjadi dan kahirnya semakin banyak juga awan yang akan terbentuk, dan semakin besarlah curah hujan itu.
Mungkin yang terjadi hari jumat kemarin adalah peringatan yang kesekian kalinya dari Tuhan untuk kita yang makin lupa untuk mensyukuri bumi yang diciptakan Tuhan, kita tidak menjaganya dengan baik. Atau bisa jadi peringatan juga untuk mengoreksi diri, ..mari berpikir, tanggul yang seharusnya mempunyai beberapa lapisan yang tersusun pada dindingnya, kalau kita lihat dalam beberap tayangan televise hanya terlihat satu lapisan tanah yang diumpuk , disusun sedimikian rupa menjadi dinding, kemudian dipakai untuk menampung air.lalu kemana uang proyek yang bermilyar – milyar itu lari??. Lagi – lagi rakyat bisa yang masih terlelap dalam mimpi malamnya yang menjadi korban. Ibu kehilangan anak, anak kehilangan bapak, sahabat kehilangan sahabat.
Earth hour hanyalah langkah kecil, tapi paling tidak menggugah kita untuk berpikir. Jika satu kota Jakarta mematikan lampunya secara bersama selama satu jam saja, maka energy yang akan dihemat sekitar 300MW atau sama dengan mengistrirahatkan satu PLTD, setara dengan menghemat 200 juta rupiah, mengurangi 284 ton CO2 (sumber : WWF-Indonesia). Bagaimana kalau satu Negara ini sepakat…dan kita berharap bumi ini tidak akan semakin panas untuk ditinggali. Mari berpikir.

Sabtu malam setelah mematikan lampu..

Cuplikan kompas.com hari senin 30 Maret 2009 : korban tewa 98 orang, hilang 115 orang

Jumat, 27 Maret 2009

siapa mau jadi kambing hitamnya...


Prolog :
Saat berada di atas udara Palangkaraya – Jakarta saya membaca berita di Media Indonesia lagi – lagi tentang rekor, kali ini tentang di”vonisnya” China sebagai penyumbang emisi terbesar di dunia menggeser Amerika Serikat yang tahun lalu menduduki rangking satu di Dunia. Kemudian saya membaca juga dari Blog teknilogi Indonesia yang menyebutkan pada tahun 2007 Indonesia menduduki rangking ketiga penyumbang emisi ini.
Lanjutan :
Membaca beberapa berita ini mengingatkan kita betapa manusia semakin merasa berkuasa atas dunia ini, sepertinya sudah tidak menimbulkan rasa malu lagi ketika mendapatkan predikat – predikat ini. Dalam berita yang ditulis di Media Indonesia disebutkan China tidak terlalu ambil pusing dengan pemberitaan tersebut, China tidak terlalu menyalahkan industry yang berkembang di negaranya, yang lebih disalahkan adalah adanya konsumsi hasil dari industry tersebut. Kalau kita telaah lebih lanjut, dengan bertambahnya manusia di bumi ini semakin besar pula konsumsi terhadap barang maupun energy, kemudian muncullah industry – industry yang berusaha memenuhi kebutuhan tersebut. Industri tidak terlalu memikirkan lingkungan seringkali capaian keuntungan perusahaan lebih dominan menjadi target setiap usahanya. Di Indonesiapun agaknya kecenderungan ini juga terjadi, tumbuhnya industry tidak diimbangi dengan kepedulian terhadap lingkungan, atau mungkin kepedulian sudah tumbuh tetapi untuk “mengejawantahkannya” yang susah, mengingat kebutuhan untuk menimbun keuntungan sebesar – besarnya. Lain lagi dengan bertumbuhnya sector transportasi yang juga menyumbang polusi yang cukup besar, manusia Indonesia dengan gengsinya yang tinggi, memaksakan diri membeli mobil atau sepeda motor dan menambah lagi konsumsi bahan bakar fosil dan tentunya asap knalpot semakin hari semakin banyak mengambang di udara negeri ini.
Perenungan :
Apakah kita akan terus seperti ini, atau kita akan mengambil sikap untuk mulai berbuat. Mengurangi konsumsi dan menghemat energy. Kita menggantungkan harapan pada sikap – sikap ini, mengurangi konsumsi berarti mengurangi produksi juga, mengurangi produksi berarti mengurangi juga polusi (ini pemikiran saya). Mulai menggunakan transportasi masal untuk menghemat penggunaan bahan bakar. Aapapun yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki kondisi alam kita..untuk anak cucu kita.

untuk calon anak - anakku

Kamis, 19 Maret 2009

PLEASE MATIIN TU LAMPU....


Dukung "Earth Hour" indonesia

matikan LAMPU 1 jam, 28 Maret 09, 20.30 - 21.30 dan jadi bagian dari 1 milyar orang yang bergabung!

Bayangin saja pada saat yang bersamaan, manusia seluruh dunia yang biasanya menjadi “budak” listrik, mematikan lampu (baca: listrik) selama satu jam..kira – kira berapa energy yang dapat dihemat….terus generator listrik yang biasa memakai bahan bakar fosil berhenti selama satu jam, tentunya asap yang biasanya dihasilkan oleh pembangkit – pembangkit listrik ini akan menyingkir selama satu jam. Bila tidak ada asap yang meracuni tentunya udara yang biasa kita hirup lebih akan lebih bagus, dan walaupun tidak signifikan kandungan carbon di udara bebas akan berkurang. Dan selanjutnya – dan selanjutnya…..efek domino yang bagus…
Memang semua hal harus dimulai dengan hal kecil, mulai dengan disiplin kecil Cuma mematikan listrik selama satu jam…bumi kita kan lebih indah…yuk kita ikutan.

Senin, 16 Maret 2009

obrolan diruang makan


Obrolan kecil tentang kebenaran yang relative
Beberapa minggu kemarin bagi para pembaca kompas akan menemukan beberapa berita tentang harimau sumatera yang memangsa beberapa orang yang melakukan logging, beberapa hari yang lalu Gubernur Jambi memerintahkan pihak berwenang untuk melakukan penangkapan harimau tersebut sebagai solusi untuk mengurangi korban yang diprediksi dapat terus bertambah. Bagi seorang pejabat pemerintahan tentunya keputusan ini dianggap sebagai keputusan yang “benar” untuk melindungi rakyatnya, tapi saat saya membaca beberapa komentar pembaca kompas, ternyata keputusan tersebut mendapat komentar negative yang tentunya bagi para pembaca ini dianggap sebagai masukan yang “benar” bagi mereka. Para pembaca ini beranggapan seharusnya pemerintah memberikan sanksi bagi para pembalak ini karena merekalah yang merusak habitat harimau sumatera sehingga sang raja hutanpun marah sebagai wujud perlawanannya.
Sementara itu apabila diperhatikan sejarah pembalakan tersebut ternyata menjadi sejarah yang harusnya dijadikan patokan juga, apabila ditelusuri, hutan yang menjadi TKP tersebut merupakan lahan ex-HPH yang telah habis masa kontraknya dengan meninggalkan segudang kehancuran habitat. Kemudian masyarakat sekitar terkondisi menjadikannya sebagai lahan baru bagi mereka mendapatkan sesuap nasi dengan menjadi buruh illegal para cukong kayu yang tentunya tanpa ijin resmi.
Entah bagaimana seharusnya benang ruwet ini harus dibenahi, masyarakat yang susah mencari uang dimanfaatkan cukong – cukong besar, walaupun mereka pun tentunya tahu resiko merambah hunian harimau, tapi apa boleh buat demi perut anak istri. Lalu bagaimana dengan harimau, yang setiap hari punya kebiasaan hidup dirumahnya tersebut, ketika menemukan rumahnya mencari makan harus tergusur, hutan gundul tentunya menghalau buruannya, terpaksalah harimau ini berpuasa dan mengungsi. Suatu ketika harimau dengan kebiasaan hidup yang terpola harus dihadapkan pada urusan survive. Harimau memilih mencari cara apapun untuk bertahan hidup demikian juga dengan masyarakat sekitar yang uga harus bertahan hidup. Kebenaran bagi harimau menjadi bertentangan dengan kebenaran dari manusia.
Kemudian muncul obrolan lainnya….
Bagaimana dengan aturan yang ada, aturan adalah hasil budaya manusia juga yang tentunya sifat kebenaranya pun relative. Melirik sedikit tentang aturan mengenai perusakan hutan dengan cara membuka lahan dengan pembakaran, aturan yang diberi nama UU no 18 tahun 2004 tentang perkebunan menyebutkan bahwa siapapun dilarang membuka lahan dengan cara membakar, kemudian muncul lagi yang namanya Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah mengenai pembakaran yang terbatas, dengan memberikan ijin “membakar” dengan aturan main yang telah ditentukan. Entah apa yang menjadi latar belakang aturan ini padahal sebelumnya adajuga yang dinamakan Fatwa MUI wilayah Kalimantan yang mengharamkan yang namanya pembakaran lahan.
Membakar dalam penyiapan lahan menjadi “budaya” bagi sebagaian masyarakat di Kalimantan dan Sumatera. Padahal pembakaran inilah yang menjadi awal dari bencana asap yang terjadi yang telah banyak merugikan Negara ini. Bagi masyarakat tertentu, membakar adalah solusi penyiapan lahan yang murah, mudah dan cepat. Tapi bagi lingkungan ini adalah bencana..
Kembali pada nilai kebenaran..
Lalu mana yang benar? Pertanyaan yang akan terus menjadi pemikiran kita, kebenaran yang berpihak, kebenaran yang telah dicemari dengan kepentingan tertentu. Ataukah kita kembali pada satu ucapan “ kebenaran yang hakiki hanya milik Tuhan”, menjadi kesalahan kita kalau hanya akan terus kembali pada peryataan tersebut untuk membenarkan diri kita sendiri. Mungkin lebih baiknya kita membuka dialog untuk terus mencari kebenaran tersebut dengan tidak memaksakan kebenaran menurut kita sendiri, kebenaran yang tentunya sangat susah ditemukan mengingat kita adalah sekumpulan manusia – manusia yang egois.
Catatan kecil di meja makan malam ini

Foto : koleksi pribadi, bengkulu,07

Jumat, 06 Maret 2009

spesies terancam punah seperti apa ya


Kira – kira spesies dengan klasifikasi apa yang mudah punah :
1. Spesies dengan sebaran geografis yang sempit
2. Spesies yang terdiri atas satu atau sedikit populasi
3. Spesies yang berukuran besar
4. Spesies dengan jelajah yang luas
5. Spesies yang bermigrasi musiman
Bisa dijelaskan begini, misalnya spesies tersebut mempunyai populasi yang sedikit/kecil, pada suatu ketika ada penyakit yang menyeran, maka populasi seragam tersebut akan sangat mudah penyakit tersebut menular. Atau akan terjadi juga perkawinan sesame kerabat yang akan menghasilkan munculnya sifat – sifat resesif mengumpul pada satu generasi..maka dengan mudahnya populasi tersebut lama – kelamaan akan punah.
Spesies dengan ukuran tubuh besar akan sangat mudah terlihat oleh predatornya, saat ini lebih terancam lagi oleh perburuan manusia.
Spesies dengan jelajah yang luas terancam dengan terus menyempitnya daerah jelajah, hutan yang ditebang atau pembangunan yang terus mengorbankan segala hal, rumahnyapun tergusur…
Spesies yang secara musiman bermigrasi semakin memperbesar ancaman kematiannya…dengan perkembangan jaman, polusi, dan ancaman lainya..semakin hebatlah tantangan dan rintangan untuk mencapai daerah tujuan migrasinya..
Kira – kira apalagi ya yang mampu melibas spesies – spesies sisa ya??? Tangan – tangan yang takbertanggungjawab, egoisme manusia yang menganggap dirinya sebagai penguasa alam raya..

Kawasan Konservasi

Just sharing informasi aja nih kawan-kawan, selama satu minggu lebih kemarin akhir bulan februari saya melakukan perjalanan dinas. Selama 9 hari kami (saya dan Tim) mengunjungi Taman Nasional (TN) Sembilang, TN Kerinci Seblat dan Hutan Harapan. Untuk TN Sembilang dan TN Kerinci Seblat, bukan pertama kalinya saya berkunjung tetapi kali ini sudah ketiga kalinya, jadi saya mengerti lokasi yang akan saya kunjungi. Sedangkan untuk Hutan Harapan yang ada di Jambi, kali ini adalah kunjungan yang pertama saya lakukan. Yang menarik dari lokasi-lokasi tersebut adalah tentu saja keindahan alamnya.
Bagi yang sering mengunjungi kawasan konservasi seperti taman nasional mungkin tidak terlalu asing dengan keindahan alam di TN. Khususnya di TN Sembilang yang mempunyai ekosistem mangrove dalam kondisi yang masih bagus. Bagi yang ingin melihat hutan mangrove yang masih bagus dan para pengamat burung atau bird watching khususnya burung migran saya sangat menganjurkan untuk datang ke TN Sembilang pada bulan November-Januari. Pada bulan tersebut banyak sekali burung migran yang singgah. Akses memasuki TN Sembilang semuanya melalui jalur sungai atau laut dengan menggunakan speedboat. Salah satunya jenis burung yang akan ditemui di TN Sembilang seperti yang ada difoto dibawah ini.


Taman Nasional Sembilang pic by reny

Bagi yang suka mendaki gunung saya sarankan untuk datang ke TN Kerinci Seblat. TN Kerinci Seblat merupakan TN yang mempunyai cakupan areal yang sangat luas yang terbagi di empat propinsi yaitu Sumatra Barat, Jambi, Bengkulu dan Sumatra Selatan. Jadi kalo ingin berkunjung ke TN Kerinci Seblat tentukan dulu propinsi mana yang ingin dikunjungi, karena letaknya jauh-jauh loh.

Raflesia arnoldi pic.by reny Gunung Kerinci pic. by reny

Harapan Rainforest merupakan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK Restorasi Ekosistem) yang diberikan kepada PT Restorasi Ekosistem Indonesia dengan luas areal lebih kurang 52.170 ha. Kawasan hutan ini sebelumnya merupakan areal HPH. Harapan rainforest merupakan habitat bagi satwa-satwa yang kini sudah mulai punah atau langka seperti harimau sumatra. Bagi yang ingin melihat konservasi rainforest, kemudian ingin belajar tentang ekosistem harapan rainforest sangat direkomendasikan untuk datan ke kawasan tersebut.

Kondisi hutan harapan pic. by reny




Rabu, 04 Maret 2009

....spesies alien..hahaha


Invasive spesies/ secara Indonesia mungkin setara dengan gulma..yang menjadi ancaman kepunahan spesies dapat dirunut dari sejarah kolonialisasi bangsa eropa, penjelajahan bangsa ini seringkali membawa spesies eropa (baik sengaja maupun tidak) ke semua negeri yang dijelajahinya, secara sengaja mereka membawa spesies eropa supaya negeri baru yang dijelajahinya menjadi rumah kedua yang mirip dengan tanah air mereka. Sebagai contoh beberapa mamalia yang sengaja dibawa untuk dijadikan hewan buruan, pada akhirnya hewan – hewan ini berkembang pesat karena mampu bertahan di negeri asing bahkan lebih bisa berkembang dari spesies asli negeri tersebut.

Kegiatan pertanian, hortikultura dan perikanan seringkali juga memaksakan masuknya spesies asing ke daerah tertentu. Contohnya pengenalan jenis jambu Bangkok, padi Thailand ke Indonesia kemudian lele dan mujaer yang dimasukkan ke danau – danau yang mulanya hanya untuk kegiatan memancing ternya ta malah membuat spesies ikan asli terpinggirkan.

Kasus lainnya adalah ketika spesies asing tersebut mulai mengganggu habitat asli, kemudian dilaksanakan kebijakan untuk mendatangkan spesies control yang diyakini mampu menjadi predator atau lawan dari spesies asing tersebut. Ternyata setelah spesies pengganggu mampu “dikalahkan”, spesies control tersebut menjadi masalah baru yang menjadi penguasa baru.

Contoh kasus invasive spesies antara lain : Keong mas (Pomacea canaliculata) yang asli Argentina pada tahun 1981 didatangkan ke Taiwan sebagai bahan obat, pada tahun – tahun berikutnya keoang tersebut semakin tersebar ke seluruh asia termasuk Indonesia dan menjadi masalah serius pertanian Indonesia. Spesies ini mampu bertahan karena tidak ada predator alami di tempatnya yang baru.

Dari contoh kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa pengenalan spesies baru harus menjadi pilihan terakhir, karena kita tidak mampu memprediksi kemampuan hidupnya di tempat baru. Jangan – jangan spesies tersebut akan menjadi masalah baru yang mengakibatkan musnahnya spesies asli.

Dari berbagai sumber bacaan.

Selasa, 03 Maret 2009

selamatkan burung....


Ketika saya menonton pertama kali film “bee movie” saya dapat saya kesan mendalam, ternyata makhluk kecil bernama lebah mempunyai peranan yang sangat penting dalam rantai makanan. Lebah sangat membantu dalam proses peyerbukan tanaman, dari situlah pertemuan antara putik dan benang sari terjadi (walaupun bukan hanya lebah, dapat juga ditolong oleh angin, manusia, aktifitas hewan lainnya), maka terjadilah buah yang tentunya menjadi bagian penting dalam proses makan – memakan..
Saat saya membaca beberapa laporan dari Birdlife International, saya menemukan angka yang sangat mengejutkan juga, sekitar 2% dari spesies burung di seluruh dunia dalam kondisi terancam punah. Kawan – kawan tentunya tahu, bagaimana peran besar juga dilakukan oleh burung dalam rantai makanan. Burung – burung terancam punah karena adanya habitat yang rusak karena pembalakan hutan, perburuan, polusi udara, kebakaran hutan dan lain sebagainya. Di masa depan, keberadaan burungpung terancam karena adanya perubahan iklim yang terus terjadi. Belum lagi keterlibatan manusia dengan bertambahnya kebutuhan akan lahan baik untuk perumahan maupun untuk lahan pertanian. Gedung bertingkat yang tumbuh seperti jamur, pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor dan industri yang menyumbang polusi yang memabukkan juga buat burung.
Penggunaan pestisida dalam pertanian, juga mengakibatkan beberapa burung terusik. Dengan matinya serangga yang menjadi bahan makanan burung, tentunya persaingan untuk mencari makanan semakin susah, belum lagi efek dari pestisida menjadi efek berantai bagi kesehatan burung. Atau penangkapan ikan dengan bom dan racun, menjadi pemusnah habitat dan populasi ikan. Akan seperti apa nasib burung pemakan ikan seperti elang laut.
Mari bersama kita berusaha, bagaimanapun caranya kita ambil bagian dalam upaya ini, sekecil apapun, misalnya mengurangi polusi dengan seminimal mungkin menggunakan kendaraan bermotor…mulai dengan langkah – langkah kecil.
Salam lestari.

Kamis, 26 Februari 2009

dukungan buat TN. Komodo....


Beberapa hari kemarin muncul polling untuk mendukung Taman Nasional Komodo menjadi tujuh keajaiban dunia, posisi sekarang menunjukkan di polling masih nomor 12. Sebagai orang Indonesi yang sedikit kecewa ketika Candi megah kita Borobudur gagal menjadi bagian dari tujuh keajaiban dunia, tentunya saya ikut serta dalam polling mendukung TN. Komodo ini.
Taman Nasional Komodo sebelumnya telah ditetapkan UNESCO menjadi situs warisan alam dunia dan cagar biosfir. Taman nasional ini dianggap mewakili sebagaian sisa kehidupan prasejarah dengan adanya si kadal raksasa “komodo” (Varanus komodoensis).

Taman nasional komodo mempunyai padang savanna yang luas dengan pohon lontar (Borassus flabellifer) serta berbagai tumbuhan lain yang mampu beradaptasi pada suhu yang panas menjadi habitat unik bagi Indonesia. Terdiri dari tiga buah pulau besar yaitu pulau Komodo, pulau Rinca dan pulau Padar serta 26 buah pulau besar/kecil lainnya. Sebanyak 11 buah gunung/bukit yang ada di Taman Nasional Komodo dengan puncak tertinggi yaitu Gunung Satalibo (± 735 meter dpl).

Saat ini yang menjadi ancaman adalah terancamnya keberadaan komodo karena berbagai hal, saya ajak kawan – kawan berandai – andai, misalnya populasi manusia di sana semakin banyak , kemudian terpaksa manusia – manusia ini membangun rumah di dalam kawasn konservasi, kemudian mereka berburu kijang untuk dijadikan makanan, kemudian kijang dan kawan – kawannya ini semakin berkurang, lalu supply makanan untuk komodo semakin berkurang juga…seringkali kita tidak menyadari adanya rantai makanan yang panjang yang terkait satu dengan yang lain yang menyebabkan ancaman tersendiri bagi satwa yang dilindungi. Atau suatu ketika habitat di sanan semakin rusak, pantai kotor penuh sampah, kemudian savanna terbakar, ruang gerak bagi komodo semakin menyempit, maka merekapun berebut untuk hidup, bertarung demi tegaknya hukum rimba…maka berkuranglah populasinya….atau rantai makanan itu terputus ketika nelayan disekitarnya mencari ikan dengan cara bom atau racun, rantai makanan terputus dan akibatnya…ujung – ujungnya populasi komodo semakin sedikit.

Kalau terjadi semua itu apalagi yang bisa dibanggakan dari Taman nasional ini kalau komodonya tidak ada….??..kalau kita sudah berkomitmen menjadikan taman nasional ini menjadi keajaiban dunia berarti kita juga berkomitmen juga untuk menjaganya sedemikian rupa agar tidak rusak..,…atau anak cucu kita hanya akan menikmatinya dalam buku sejarah Indonesia ….

ditulis dari berbagai sumber data..

Rabu, 25 Februari 2009

refind....


Prolog :

Masalah kebakaran kembali mengemuka beberapa minggu ini, mulai dari kebakaran hebat di Australia yang memakan banyak korban baik nyawa maupun harta benda, kemudian disusul “serangan” asap dari Riau, NAD dan sekitarnya. Kebakaran di Riau dan NAD terjadi di lahan – lahan tidur yang dibakar untuk disipkan menjadi lahan perkebunan atau pertanian. Asap tebal yang ditimbulkan sempat membuat panik warga, sampai – sampai Bandara terpaksa ditutup karena jarak pandang yang sangat terbatas.

Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah kenapa masih saja solusi membakar menjadi solusi utama dari masyarakat, padahal akibat dari kebakaran tersebut dirasakan juga oleh masyarakat dan tentunya sangat merugikan bagi banyak orang.

Sebenarnya solusi yang lebih baik sudah banyak ditawarkan, yaitu dengan memenfaatkan bahan material yang biasanya dibakar menjadi bahan yang lebih bermanfaat seperti kompos dan briket arang. Dengan solusi ini ditawarkan solusi yang bernilai ekologis dan ekonomis, selain bermanfaat untuk menyuburkan tanah (untuk kompos) dan bahan bakar (untuk briket arang) juga ke depan diharapkan dapat menjadi tambahan pendapatan apabila berhasil dikomersilkan.

Pembuatan kompos:

Pembuatan kompos, pernah ditawarkan oleh kawan – kawan dalam action plan mengatasi sampah, pembuatan kompos juga dapat digunakan untuk mengurangi bahan bakaran yang ada di lahan sehingga menghindari kebakaran hutan dan lahan.

Proses pembuatannya sangat sederhana, hanya dengan mencacah seresah menjadi bahan yang lebih kecil kemudian ditimbun di tanah dapat ditambah dengan kotoran hewan ataupun bekatul, dibuat layer – layer kemudian didiamkan selama sekitar 12 minggu. Proses inipun dapat dipercepat dengan tambahan bioaktifator yang mempercepat pembusukan (misalnya EM4) dengan campuran molase (tetes tebu) kemudian diaduk, dan ditutup dengan plastic agar fermentasi berhasil.

Beberapa hal penting :

Saat ini pembuatan kompos ini ditawarkan menjadi salah satu solusi mengurangi bahan bakaran dalam penyiapan lahan. Diharapkan dengan berkurangnya bahan bakaran dapat mengurangi resiko bertemunya “segitiga api” (baca ; bahan bakar, api dan udara) yang dapat menimbulkan kebakaran.

Saat ini di beberapa contoh lokasi yang telah melakukannya masih memerlukan analisis pemasaran untuk kepentingan komersil, sehingga diharapkan nantinya dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga bagi masyarakat sekitar hutan.

dari berbagai sumber berita dan perjalanan..