Jumat, 01 Mei 2009

" memoar buat si bronson "


Teringat pengalaman beberapa tahun yang lalu saat menjadi voulenter di Pusat Penyelamatan Satwa Jogja (PPSJ), tugas kami sederhana, mengambil data – data tentang perilaku Elang Laut perut putih (Haliaetus leucogaster). Ya.. sebagaian dari elang ini adalah hasil sitaan, sebagaian yang lain adalah memang sengaja diserahkan oleh pemiliknya untuk dilepasliarkan.

Proses pelepasliaran ini bukan perkara mudah dan cepat, proses yang lama dan membutuhkan ekstra perhatian dan ekstra biaya tentunya, belum lagi tingkat keberhasilannya bisa jadi tidak memenuhi target. Elang – elang malang ini sudah terlalu lama dipelihara manusia, dengan berbagai luka fisik dan mental. Ada beberapa elang yang kuku cakarnya “ dimanicure” dipotong habis, ada pula yang paruhnya dikikir oleh pemiliknya. Beberapa elang sudah lupa bagaimana cara untuk terbang, adapula yang sudah lupa kalau makanan aslinya itu jenis – jenis ikan (terlanjur lama dicekokin pisang, papaya, dan nasi kucing).

Mohon ijin sebelumnya untuk menceritakan sedikit yang saya ingat ( maaf apabila terkesan meraba – raba…agak – agak lupa..)

Akhirnya “ terdamparlah” mereka di PPSJ ini untuk diliarkan kembali sebelum mereka dilepas kea lam bebas. Adalah Charles dan Bronson, 2 (dua) ekor elang dari beberapa elang laut yang senagaja diberi nama untuk memudahkan pengamatan. Dimulai dengan beberapa tahapan yang memakan waktu yang cukup panjang, mulai dari tahapan karantina untuk pemulihan kesehatan dan kondisi setelah perjalanan dari lokasi penyitaan atau kandang sebelumnya, tahap observasi kesehatan untuk melihat sejauh mana tingkat kesehatan mereka, dari tahapan ini diharapkan beberapa luka dan cacat dapat direhabilitasi atau setidaknya dapat dideteksi.

Dari tahap awal dapat dilihat kira – kira mereka dapat dimasuknya pada grade apa (kaya mencarikan kelas yang tepat buat tingkat mereka saat ini). Yang paling parah adalah saat didapati elang tersebut sudah terlalu banyak “lupa” kalau dia adalah elang..jadi harus dididik dari awal, mulai cara terbang, jenis makanan dan nantinya cara mencari makan.

Beberapa hari kemarin ketika berkesempatan melihat ( di NGC) proses peliaran yang dilakukan di salah sanctuary di Amerika.Proses keterlibatan manusia benar – benar di minimalisir, sampai – sampai petugas – petugasnya harus memakai topeng burung (yang sangat mirip asli) dan sedapat mungkin tidak terlihat oleh si burung kalau yang mendekati adalah manusia. Hal ini berkaitan dengan tingkat bahaya apabila terlalu sering berinteraksi dengan manusia. Logikanya begini, di alam liar saat manusia terlihat keberadaannya, burung – burung akan terbang menjauh, beda dengan burung – burung yang terlalu lama dipelihara, mereka justru mendekat pada manusia (perkiraan mereka, manusia pasti membawakan makanan). Padahal kontak dengan manusia adalah bencana, kebanyakan burung – burung mati kena jerat atau ditembakoleh manusia.
Berlanjut di PPSJ, ..sekalipun sederhana, proses yang dilakukan di PPSJ juga “mengadopsi” cara di beberapa Negara lainnya. Terlihat dari kandang – kandang observasi dengan beberapa tingkatan dengan display kandang yang berbeda mulai dari ukuran dan ornament, serta kolam ikannya. Untuk elang – elang yang “lupa cara mencari makan” disediakan ikan yang sudah mati di lantai kandang, apabila sudah “lulus” tingkatan ini, elang akan dipindahkan ke kandang lainnya dengan tingkat kesulitan lebih tinggi (dengan sumber makanan yang hidup dimasukkan ke kolam dengan kedalaman tertentu yang masih dapat terlihat). Demikian selanjutnya dengan ukuran kedalaman kolam yang memaksa elang beradaptasi untuk mencari makan, begitu juga dengan ukuran kandang yang terus bertambah luas dan ketinggiannya, yang memaksa elang belajar untuk terbang lebih kuat..

Akhirnya, apabila dinilai cukup dengan berbagai pertimbangan tingkat survival yang telah ditetapkan, elang – elang yang telah siap akan dilepas liarkan. Proses pemilihan lokasi juga menjadi kendala tersendiri, lokasi yang dipilih harus mempertimbangkan sumber makanan, ancaman dari manusia dan tentunya ada atau tidaknya elang lainnya yang sebelumnya telah memiliki teritori di sana.

Ternyata, proses yang lama inipun terkadangtidak menunjukkan tingkat keberhasilan, belum tentu elang yang dinilai dapat survive ternyata hanya menjadi elang “jago kandang” yang ketika dilepasliarkan tidak mampu bertahan mencari makan sendiri ataupun kalah dalam pertarungan memperebutkan teritori..tapi bagaimanapun juga upaya ini harus diacungi jempol..upaya mulia untuk mempertahankan kelestarian alam. Sayang sekali saat ini PPSJ dalam terkendala dengan pendanaan..saya sudah lama tidak mendengar kabarnya lagi…(saya yang lepas kontak dengan kawan – kawan).
Manusia dengan segala tingkah lakunya…sayang sekali apabila mengorbankan kebebasan hidup dan kelangsungan hidup elang laut ini hanya untuk gagah – gagahan (dengan memelihara elang kadang dinilai lebih hebat dan kaya).. padahal untuk proses pelepasliaran ini memakan waktu lama dan biaya yang besar.

Salam untuk elang – elang laut di Karimun Jawa yang telah berjasa membuatku menjadi sarjana..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar