Selasa, 19 Mei 2009

STOP PRESS !!!!!!


Merak hijau (Pavo muticus) saat ini ditetapkan statusnya menjadi Endangered (genting), atau secara deskripsinya menghadapi resiko kepunahan tinggi di alam liar. Fakta dilapangan saat ini keberadaan merak hijau terganggu dengan fragmentasi lahan, banyak kawasan konservasi yang terganggu dengan desakan masyarakat untuk merambah kawasan ataupun banyak penyimpangan – penyimpangan tata guna lahan yang tentunya tidak hanya melibatkan masyarakat awam.

Berita mengenai status dari IUCN (lihat di birdlife.org) ini harus menjadi perhatian khusus bagi pengelola kawasan konservasi. Menjadi koreksi bersama dan tindakan berbagai pihak bukan hanya kalangan Departemen Kehutanan.

Seandainya tidak segera disikapi maka tahun – tahun mendatang akan terus meningkat statusnya menjadi punah dan mungkin anak cucu kita hanya bisa melihat fotonya kelak atau sisa – sisa bulunya yang dipasang di reog.

untuk merak si sombong yang terancam

turut belasungkawa

Turut berbelasungkawa atas meninggalnya ayahanda dari saudara arif nurkanto, anggota tim training environment conservation obihiro 2008. Tuhan Yang Maha Esa memberikan pengihiburan untuk semua keluarga.

Ferdi.
atas nama semua anggota Tim Trainer.

Selasa, 05 Mei 2009

KETIKA KITA HANYA BISA DIAM


Sabtu kemarin dapat berkat bisa nonton film, kali ini giliran film “KNOWING” nya Nicolas Cage yang ditongkrongin. Film yang menegangkan mulai dari awal sampai selesai, Cuma buat saya agak disayangkan bila ending – endingnya muncul semacam alien lagi..padahal dari awal saya dan istri sudah merasakan alur cerita yang logis dan nyata yang tidak melibatkan alien. Namaun bagi pecinta sosok alien memang tetap saja cerita film ini sangat bagus. Bagaimanapun beberapa hal dapat kita ambil pesan dari cerita film ini.

Saya berpikir bila seseorang memiliki karunia untuk melihat bencana tetapi tidak mampu menghentikan alur, sungguh alangkah sangat menyiksa, apalagi yang terlibat dalam bencana tersebut adalah keluarga kita.

Dan mungkin ini juga terjadi saat – saat ini, ketika kita sebenarnya tahu kalau banyak tindakan – tindakan kita yang baik sengaja ataupun tidak dapat menimbulkan bencana…semisal pembalakan hutan secara illegal yang masih saja tejadi, illegal hunting yang akan merusak rantai makanan dan keseimbangan alam, sampai pada kebijakan – kebijakan yang tidak memihak lingkungan. Sepertinya secara sadar maupun tidak kita menyongsong bencana….

Saya berharap banyak, ketika sebenarnya kita tahu apa yang kita lakukan akan banyak berdampak sebaiknya kita bersikap lebih bijak, merawat lingkungan titipan Tuhan untuk dapat kita wariskan kepada anak cucu kita, bukan bencana yang akan kita tuai di masa depan.

JANGAN HANYA DIAM…
Label foto : dari knowing-trailer.blogspot.com

Jumat, 01 Mei 2009

" memoar buat si bronson "


Teringat pengalaman beberapa tahun yang lalu saat menjadi voulenter di Pusat Penyelamatan Satwa Jogja (PPSJ), tugas kami sederhana, mengambil data – data tentang perilaku Elang Laut perut putih (Haliaetus leucogaster). Ya.. sebagaian dari elang ini adalah hasil sitaan, sebagaian yang lain adalah memang sengaja diserahkan oleh pemiliknya untuk dilepasliarkan.

Proses pelepasliaran ini bukan perkara mudah dan cepat, proses yang lama dan membutuhkan ekstra perhatian dan ekstra biaya tentunya, belum lagi tingkat keberhasilannya bisa jadi tidak memenuhi target. Elang – elang malang ini sudah terlalu lama dipelihara manusia, dengan berbagai luka fisik dan mental. Ada beberapa elang yang kuku cakarnya “ dimanicure” dipotong habis, ada pula yang paruhnya dikikir oleh pemiliknya. Beberapa elang sudah lupa bagaimana cara untuk terbang, adapula yang sudah lupa kalau makanan aslinya itu jenis – jenis ikan (terlanjur lama dicekokin pisang, papaya, dan nasi kucing).

Mohon ijin sebelumnya untuk menceritakan sedikit yang saya ingat ( maaf apabila terkesan meraba – raba…agak – agak lupa..)

Akhirnya “ terdamparlah” mereka di PPSJ ini untuk diliarkan kembali sebelum mereka dilepas kea lam bebas. Adalah Charles dan Bronson, 2 (dua) ekor elang dari beberapa elang laut yang senagaja diberi nama untuk memudahkan pengamatan. Dimulai dengan beberapa tahapan yang memakan waktu yang cukup panjang, mulai dari tahapan karantina untuk pemulihan kesehatan dan kondisi setelah perjalanan dari lokasi penyitaan atau kandang sebelumnya, tahap observasi kesehatan untuk melihat sejauh mana tingkat kesehatan mereka, dari tahapan ini diharapkan beberapa luka dan cacat dapat direhabilitasi atau setidaknya dapat dideteksi.

Dari tahap awal dapat dilihat kira – kira mereka dapat dimasuknya pada grade apa (kaya mencarikan kelas yang tepat buat tingkat mereka saat ini). Yang paling parah adalah saat didapati elang tersebut sudah terlalu banyak “lupa” kalau dia adalah elang..jadi harus dididik dari awal, mulai cara terbang, jenis makanan dan nantinya cara mencari makan.

Beberapa hari kemarin ketika berkesempatan melihat ( di NGC) proses peliaran yang dilakukan di salah sanctuary di Amerika.Proses keterlibatan manusia benar – benar di minimalisir, sampai – sampai petugas – petugasnya harus memakai topeng burung (yang sangat mirip asli) dan sedapat mungkin tidak terlihat oleh si burung kalau yang mendekati adalah manusia. Hal ini berkaitan dengan tingkat bahaya apabila terlalu sering berinteraksi dengan manusia. Logikanya begini, di alam liar saat manusia terlihat keberadaannya, burung – burung akan terbang menjauh, beda dengan burung – burung yang terlalu lama dipelihara, mereka justru mendekat pada manusia (perkiraan mereka, manusia pasti membawakan makanan). Padahal kontak dengan manusia adalah bencana, kebanyakan burung – burung mati kena jerat atau ditembakoleh manusia.
Berlanjut di PPSJ, ..sekalipun sederhana, proses yang dilakukan di PPSJ juga “mengadopsi” cara di beberapa Negara lainnya. Terlihat dari kandang – kandang observasi dengan beberapa tingkatan dengan display kandang yang berbeda mulai dari ukuran dan ornament, serta kolam ikannya. Untuk elang – elang yang “lupa cara mencari makan” disediakan ikan yang sudah mati di lantai kandang, apabila sudah “lulus” tingkatan ini, elang akan dipindahkan ke kandang lainnya dengan tingkat kesulitan lebih tinggi (dengan sumber makanan yang hidup dimasukkan ke kolam dengan kedalaman tertentu yang masih dapat terlihat). Demikian selanjutnya dengan ukuran kedalaman kolam yang memaksa elang beradaptasi untuk mencari makan, begitu juga dengan ukuran kandang yang terus bertambah luas dan ketinggiannya, yang memaksa elang belajar untuk terbang lebih kuat..

Akhirnya, apabila dinilai cukup dengan berbagai pertimbangan tingkat survival yang telah ditetapkan, elang – elang yang telah siap akan dilepas liarkan. Proses pemilihan lokasi juga menjadi kendala tersendiri, lokasi yang dipilih harus mempertimbangkan sumber makanan, ancaman dari manusia dan tentunya ada atau tidaknya elang lainnya yang sebelumnya telah memiliki teritori di sana.

Ternyata, proses yang lama inipun terkadangtidak menunjukkan tingkat keberhasilan, belum tentu elang yang dinilai dapat survive ternyata hanya menjadi elang “jago kandang” yang ketika dilepasliarkan tidak mampu bertahan mencari makan sendiri ataupun kalah dalam pertarungan memperebutkan teritori..tapi bagaimanapun juga upaya ini harus diacungi jempol..upaya mulia untuk mempertahankan kelestarian alam. Sayang sekali saat ini PPSJ dalam terkendala dengan pendanaan..saya sudah lama tidak mendengar kabarnya lagi…(saya yang lepas kontak dengan kawan – kawan).
Manusia dengan segala tingkah lakunya…sayang sekali apabila mengorbankan kebebasan hidup dan kelangsungan hidup elang laut ini hanya untuk gagah – gagahan (dengan memelihara elang kadang dinilai lebih hebat dan kaya).. padahal untuk proses pelepasliaran ini memakan waktu lama dan biaya yang besar.

Salam untuk elang – elang laut di Karimun Jawa yang telah berjasa membuatku menjadi sarjana..

Rabu, 29 April 2009

Dan ketika kami merasakan sakit hati…



Ketika di beri kesempatan untuk berkunjung ke satu perusahaan perkayuan besar di Indonesia, saya diperlihatkan satu peristiwa gangguan dari satwa liar yang belum pernah saya jumpai sebelumnya dengan mata kepala sendiri. Saya melihat kerusakan besar yang belum pernah saya lihat, menurut beberapa pekerja, ratusan kera ekor panjang bergerak merusak beberapa blok tanaman yang sudah berumur satu tahun. Anehnya pada saat saya melihat lokasi tersebut, terlihat hanya tanaman yang ada di sekitar jalan akses saja yang rusak. Tegakan – tegakan yang berada di dalam (baca: tidak disekitar jalan akses) tidak mereka rusak. Kerusakan yang timbul sangat besar, tegakan tersebut terkelupas kulitnya sehingga pada beberapa hari berikutnya tegakan tersebut akhirnya kering dan mati.

Pada saat yang sama, saya mendapatkan satu cerita seru, terkait dengan peristiwa mengamuknya Harimau Sumatera dan memakan beberapa orang korban. Di beberapa artikel Koran memebrikan pernyataan tentang semakin menyempitnya daerah jajahan sang harimau, wilayah yang biasanya dijadikan wilayah perburuan, sekarang ditumbuhi berbagai tanaman perkebunan, dan hilanglah rusa dan babi hutan. Keadaan ini memaksa sang harimau melampiaskan amarahnya pada manusia yang dia jumpai di sekitar bekas wilayah jajahannya. Ketika saya mendengarkan penjelasan dari staf perusahaan tersebut, saya mendengar juga satu versi lain yang diceritakan beliau sesuai yang dia dengar dari beberapa kawannya, entah yang mana yang benar tapi menurut pemikiran saya cerita ini sangat bisa adalah kenyataan.

Cerita yang diceritakan adalah sebagai berikut :

Pada suatu hari beberapa orang perambah berhasil menangkap anakan harimau, anakan yang malang ini terpisah dari induknya dan digelandang ke gubug si penjarah. Tentunya sang induk akhirnya kebingungan mencari anaknya yang hilang ini, dengan indera penciuman dan insting pemburunya, induk harimau berhasil mendapatkan jejak anaknya, tetapi sedikit terlambat, karena si anak telah berpindah tangan dan konon saat ini sudah ada di tangan cukong di Jakarta. Di pondok para penjarah inilah sang induk melampiaskan kemarahannya pada para penculik anaknya.

Dari kedua peristiwa ini, kita hanya bisa menganalisis, bahwa bagaimanapun juga setiap makhluk hidup mempunyai insting untuk bertahan hidup. Insting inilah yang membimbingnya melakukan pilihan hidup. Mungkin tidak sama dengan manusia yang sebelum melakukan sesuatu dia akan berpikir beberapa kali untung dan rugi, serta resiko – resiko yang akan dipilihnya pada satu tindakan. Mungkin hewan lebih spontan dalam pilihan tindakannya, ketika dia merasa marah karena kehilangan akan, dia tidak akan berpikir terlalu lama untuk cepat bertindak, atau ketika mereka terusik karena habitat aslinya terusik oleh keserakahan manusia , maka mereka pun “protes” dengan merusak tegakan di sekitar jalan mungkin untuk menunjukkan wilayah kekuasaannya.

Dan saya tetap berharap peristiwa tragis dengan jatuhnya korban nyawa akan terulang lagi hanya karena kita mengusik dan merusak proses alam, menyebabkan ketidak seimbangan ekosistem. Bumi semakin tua , dan manusiapun semakin kuat mempertahankan diri untuk kelangsungan hidup kaumnya (dan kebanyakan tidak peduli lagi kana lam sekitarnya). Pilihan yang sulit ketika diperhadapkan pada pilihan ini….dan kita harus memilih akan menjadi seperti apa kita, manusia yang berakal budi atau hewan…..

Sedikit oleh – oleh dari kerajaan lama.

Senin, 20 April 2009

PEMILU Vs Tidur siang


Sebenarnya kami berharap banyak..

Saya tidak pernah menutup mata dengan urusan yang namanya politik, secuek – cueknya masyarakat Indonesia dan seawam – awamnya akan dunia ini , tetap saja manusia Indonesia harus berhadapan dengan yang namanya dunia politik. Walaupun tidak suka dan tidak mau terlalu ambil pusing dengan urusan ini, tetap saja banyak aspek kehidupan kita yang berhubungan erat dengan dunia ini. Banyak hal, mulai dari munculnya kebijakan – kebijakan yang krusial menyangkut hajat hidup orang banyak sampai tebal tipisnya dompet kita menyikapi kehidupan ekonomi Indonesia.
Tidak juga dengan urusan lingkungan, banyak juga yang tergantung dengan hasil pemilu kemarin, ya..walau saya tidak berkontribusi dalam pemilu kemarin (karena tidak tercantum dalam DPT..karena saya pendatang, yang di tempat asal juga tidak tercantum dalam DPT juga), saya masih punya yang namanya pengahrapan untuk terciptanya alam perpolitikan yang memuhak pada lingkungan. Sayang sekali apabila hasil pemilu hanya akan menelurkan politisi – politisi karbitan yang menjadikan ranah politik sebagai “mata pencaharian” bukan untuk meyalurkan aspirasi kepentingan rakyat dan kelestarian lingkungan Indonesia.

Politisi karbitan ini hanya akan berpihak pada kantongnya dan kantong partai, arogansi dan egoism semata yang ditonjol – tonjolkan biar kelihatan sebagai wakil rakyat yang “pinter, bermutu dan berpihak atas nama rakyat”. Akhirnya politisi – politisi menerapkan politik dagang sapinya tanpa berpikir amanah, menciptakan bermacam aturan yang ngawur yang jelas – jelas mempertebal kantongnya belaka.
Bukan berarti saya apatis (atau memang sedikit pesimis..) tapi kadang saya tidak habis piker dengan apa yang dilakukan para caleg kita, menghamburkan uang seperti sales obat yang berkoar – koar dengan janji – janji, menyebarkan sembako dan pengobatan gratis (kayak gratis). Kemudian setelah kalah, stress dan bunuh diri. Kenapa maju berperang tetapi takut kalah?? Sebagai manusia Indonesia ada baiknya kita belajar untuk dewasa dalam sikap politik. Memurnikan politik sebagai usaha untuk mengatur Negara sebaik mungkin untuk kepentingan bersama. Memang tidak mudah mengingat berbagai kepentingan yang ada, tapi seandainya kita mampu berbicara lagi pada hati nurani, dan mengingat kembali bahwa semua ini hanya anugerah Tuhan, mungkin kita bisa memperbaiki sikap dan bersikap dengan lebih bijak.
Menjadi wakil yang benar – benar mewakili rakyat, rakyat yang benar – benar menjadi rakyat yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban, serta kedewasaan dalam berpikir dan bertindak dengan mendahulukan kepentingan bersama. Saya berharap Indonesia menjadi tempat tinggal yang lebih baik yang lestari dan hijau, sehingga kedamaian dan kehidupan yang lebih baik dapat tercipta di bumi Indonesia.

Demi anak cucu kita……………….

Senin, 30 Maret 2009

antara situ gintung dan earth hour



Bencana kembali terjadi di negeri ini, lebih dari 65 orang meninggal dan sekitar 98 orang masih dalam pencarian (Kompas, 28 Maret 2009). Curah hujan yang tinggi tidak mampu ditampung tanggul Situ Gintung Tangerang selatan, seperti tsunami dalam skala yang lebih kecil air bah itu menenggelamkan ribuan rumah dan menghancurkan segala harta benda.

Pada sisi lain,

Tanggal 28 Maret 2009 ini masyarakat dunia melakukan satu gerakan yang dinamai “earth hour”, satu gerakan yang dimulai pada tahun 2007 di kota Sydney ketika pada saat itu 2,2 juta rumah mematikan lampu selama satu jam. Pada tahun berikutnya, ternyata bukan hanya di satu kota itu, gerakan ini mulai mewabah di seluruh dunia. Satu gerakan sederhana, hanya dengan memtikan lampu selam satu jam, diyakini mampu membuat bumi ini sedikit “istirahat” dari pemborosan energy.

Ada apa dengan keduanya,

Mungkin saya terlalu memaksakan untuk mengkaitkan kedua peristiwa ini menjadi suatu perenungan yang mungkin berguna. Curah hujan yang tinggi pada tahun – tahun belakangan ini bisa jadi terkait dengan pemanasan global yang terjadi di bumi kita. Musim menjadi tidak menentu, dan akhirnya merubah banyak hal. Waktu zaman saya duduk di bangku SD, dengan lantang kita akan menjawab bahwa musim di Indonesia ada 2 yaitu musim kemarau dan musim penghujan, dan keduanya akan berbagi sama rata dalam setahun. Tapi semua ini semakin hari semakin gamang untuk diucapkan, sangat susah saat ini untuk menandai musim, apalagi besarnya curah hujan.
Saya yang bukan ilmuwan hanya berusaha memahami dengan simpul sederhana, dengan bertambahnya suhu bumi, kutub es akan mencair, bila terjadi demikian maka akan bertambah juga tinggi permukaan air laut. Dengan demikian bisa jadi semakin banyak juga penguapan yang akan terjadi dan kahirnya semakin banyak juga awan yang akan terbentuk, dan semakin besarlah curah hujan itu.
Mungkin yang terjadi hari jumat kemarin adalah peringatan yang kesekian kalinya dari Tuhan untuk kita yang makin lupa untuk mensyukuri bumi yang diciptakan Tuhan, kita tidak menjaganya dengan baik. Atau bisa jadi peringatan juga untuk mengoreksi diri, ..mari berpikir, tanggul yang seharusnya mempunyai beberapa lapisan yang tersusun pada dindingnya, kalau kita lihat dalam beberap tayangan televise hanya terlihat satu lapisan tanah yang diumpuk , disusun sedimikian rupa menjadi dinding, kemudian dipakai untuk menampung air.lalu kemana uang proyek yang bermilyar – milyar itu lari??. Lagi – lagi rakyat bisa yang masih terlelap dalam mimpi malamnya yang menjadi korban. Ibu kehilangan anak, anak kehilangan bapak, sahabat kehilangan sahabat.
Earth hour hanyalah langkah kecil, tapi paling tidak menggugah kita untuk berpikir. Jika satu kota Jakarta mematikan lampunya secara bersama selama satu jam saja, maka energy yang akan dihemat sekitar 300MW atau sama dengan mengistrirahatkan satu PLTD, setara dengan menghemat 200 juta rupiah, mengurangi 284 ton CO2 (sumber : WWF-Indonesia). Bagaimana kalau satu Negara ini sepakat…dan kita berharap bumi ini tidak akan semakin panas untuk ditinggali. Mari berpikir.

Sabtu malam setelah mematikan lampu..

Cuplikan kompas.com hari senin 30 Maret 2009 : korban tewa 98 orang, hilang 115 orang