Kamis, 19 Maret 2009

PLEASE MATIIN TU LAMPU....


Dukung "Earth Hour" indonesia

matikan LAMPU 1 jam, 28 Maret 09, 20.30 - 21.30 dan jadi bagian dari 1 milyar orang yang bergabung!

Bayangin saja pada saat yang bersamaan, manusia seluruh dunia yang biasanya menjadi “budak” listrik, mematikan lampu (baca: listrik) selama satu jam..kira – kira berapa energy yang dapat dihemat….terus generator listrik yang biasa memakai bahan bakar fosil berhenti selama satu jam, tentunya asap yang biasanya dihasilkan oleh pembangkit – pembangkit listrik ini akan menyingkir selama satu jam. Bila tidak ada asap yang meracuni tentunya udara yang biasa kita hirup lebih akan lebih bagus, dan walaupun tidak signifikan kandungan carbon di udara bebas akan berkurang. Dan selanjutnya – dan selanjutnya…..efek domino yang bagus…
Memang semua hal harus dimulai dengan hal kecil, mulai dengan disiplin kecil Cuma mematikan listrik selama satu jam…bumi kita kan lebih indah…yuk kita ikutan.

Senin, 16 Maret 2009

obrolan diruang makan


Obrolan kecil tentang kebenaran yang relative
Beberapa minggu kemarin bagi para pembaca kompas akan menemukan beberapa berita tentang harimau sumatera yang memangsa beberapa orang yang melakukan logging, beberapa hari yang lalu Gubernur Jambi memerintahkan pihak berwenang untuk melakukan penangkapan harimau tersebut sebagai solusi untuk mengurangi korban yang diprediksi dapat terus bertambah. Bagi seorang pejabat pemerintahan tentunya keputusan ini dianggap sebagai keputusan yang “benar” untuk melindungi rakyatnya, tapi saat saya membaca beberapa komentar pembaca kompas, ternyata keputusan tersebut mendapat komentar negative yang tentunya bagi para pembaca ini dianggap sebagai masukan yang “benar” bagi mereka. Para pembaca ini beranggapan seharusnya pemerintah memberikan sanksi bagi para pembalak ini karena merekalah yang merusak habitat harimau sumatera sehingga sang raja hutanpun marah sebagai wujud perlawanannya.
Sementara itu apabila diperhatikan sejarah pembalakan tersebut ternyata menjadi sejarah yang harusnya dijadikan patokan juga, apabila ditelusuri, hutan yang menjadi TKP tersebut merupakan lahan ex-HPH yang telah habis masa kontraknya dengan meninggalkan segudang kehancuran habitat. Kemudian masyarakat sekitar terkondisi menjadikannya sebagai lahan baru bagi mereka mendapatkan sesuap nasi dengan menjadi buruh illegal para cukong kayu yang tentunya tanpa ijin resmi.
Entah bagaimana seharusnya benang ruwet ini harus dibenahi, masyarakat yang susah mencari uang dimanfaatkan cukong – cukong besar, walaupun mereka pun tentunya tahu resiko merambah hunian harimau, tapi apa boleh buat demi perut anak istri. Lalu bagaimana dengan harimau, yang setiap hari punya kebiasaan hidup dirumahnya tersebut, ketika menemukan rumahnya mencari makan harus tergusur, hutan gundul tentunya menghalau buruannya, terpaksalah harimau ini berpuasa dan mengungsi. Suatu ketika harimau dengan kebiasaan hidup yang terpola harus dihadapkan pada urusan survive. Harimau memilih mencari cara apapun untuk bertahan hidup demikian juga dengan masyarakat sekitar yang uga harus bertahan hidup. Kebenaran bagi harimau menjadi bertentangan dengan kebenaran dari manusia.
Kemudian muncul obrolan lainnya….
Bagaimana dengan aturan yang ada, aturan adalah hasil budaya manusia juga yang tentunya sifat kebenaranya pun relative. Melirik sedikit tentang aturan mengenai perusakan hutan dengan cara membuka lahan dengan pembakaran, aturan yang diberi nama UU no 18 tahun 2004 tentang perkebunan menyebutkan bahwa siapapun dilarang membuka lahan dengan cara membakar, kemudian muncul lagi yang namanya Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah mengenai pembakaran yang terbatas, dengan memberikan ijin “membakar” dengan aturan main yang telah ditentukan. Entah apa yang menjadi latar belakang aturan ini padahal sebelumnya adajuga yang dinamakan Fatwa MUI wilayah Kalimantan yang mengharamkan yang namanya pembakaran lahan.
Membakar dalam penyiapan lahan menjadi “budaya” bagi sebagaian masyarakat di Kalimantan dan Sumatera. Padahal pembakaran inilah yang menjadi awal dari bencana asap yang terjadi yang telah banyak merugikan Negara ini. Bagi masyarakat tertentu, membakar adalah solusi penyiapan lahan yang murah, mudah dan cepat. Tapi bagi lingkungan ini adalah bencana..
Kembali pada nilai kebenaran..
Lalu mana yang benar? Pertanyaan yang akan terus menjadi pemikiran kita, kebenaran yang berpihak, kebenaran yang telah dicemari dengan kepentingan tertentu. Ataukah kita kembali pada satu ucapan “ kebenaran yang hakiki hanya milik Tuhan”, menjadi kesalahan kita kalau hanya akan terus kembali pada peryataan tersebut untuk membenarkan diri kita sendiri. Mungkin lebih baiknya kita membuka dialog untuk terus mencari kebenaran tersebut dengan tidak memaksakan kebenaran menurut kita sendiri, kebenaran yang tentunya sangat susah ditemukan mengingat kita adalah sekumpulan manusia – manusia yang egois.
Catatan kecil di meja makan malam ini

Foto : koleksi pribadi, bengkulu,07